Just another WordPress.com weblog

Archive for April, 2010

Sholat dan Zakat

SHLAT DAN ZAKAT

a. KEWAJIBAN ZAKAT; Di antara perintah sholat & larangan riba

Pada dasarnya, kepentingan ibadah sholat tidak dimaksudkan untuk mengurangi arti penting zakat, karena sholat merupakan wakil dari jalur hubungan dengan Allah, sedangkan zakat adalah wakil dari jalan hubungan dengan sesama manusia.
Al Quran, sebagai pedoman hidup orang Islam, secara tegas telah memerintahkan pelaksanaan zakat. Menurut catatan Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, dalam bukunya Pedoman Zakat, terdapat 30 kali penyebutan kata zakat secara ma^rifah di dalam Al Quran, bahkan kewajiban zakat seringkali beriringan dengan perintah sholat, seperti misalnya: Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan rukuklah bersama orang-orang yang ruku’. (QS: Al Baqarah ayat 43)
Penjelasan kewajiban zakat bergandengan dengan perintah sholat terdapat pada 28 ayat Al Quran. Dengan demikian, menurut sebagian ulama besar, jika sholat adalah tiang agama, maka zakat adalah mercusuar agama atau dengan kata lain sholat merupakan ibadah jasmaniah yang paling mulia, sedangkan zakat dipandang sebagai ibadah hubungan kemasyarakatan yang paling mulia.
Beberapa pandangan ulama besar, menyatakan, bergandengannya kewajiban zakat dan perintah sholat dalam Al Quran menyiratkan bahwa semestinya Allah tidak akan menerima salah satu, dari sholat atau zakat, tanpa kehadiran yang lain. Pada dasarnya, kepentingan ibadah sholat tidak dimaksudkan untuk mengurangi arti penting zakat, karena sholat merupakan wakil dari jalur hubungan dengan Allah, sedangkan zakat adalah wakil dari jalan hubungan dengan sesama manusia. Namun demikian, bukan berarti kewajiban zakat lepas dari dimensi ketuhanan, karena sesuai dengan Surah Fushshilat ayat 6-7 dinyatakan bahwa seorang mukmin yang tidak mngeluarkan zakat tidak ada bedanya dengan orang musyrik.
Seorang imam besar dunia, Dr. Yusuf Al-Qardhawi, menyatakan bahwa zakat dapat berfungsi sebagai pembeda antara keislaman dan kekafiran, antara keimanan dan kemunafikan, serta antara ketaqwaan dan kedurhakaan.
Di dalam Al Quran, zakat mepunyai beberapa istilah, yakni zakat, shadaqah, haq, nafaqah, dan afuw. Namun yang berkembang pada masyarakat adalah istilah “zakat” digunakan untuk shadaqah wajib, sedangkan kata “sedekah” digunakan untuk shadaqah sunah.
Harta yang dikeluarkan untuk zakat dimaksudkan untuk mensucikan diri dari kotoran kikir dan dosa, serta untuk menyuburkan harta atau memperbanyak pahala bagi mereka yang mengeluarkannya, karena zakat itu menunjukkan kebenaran iman.
Harta yang dizakatkan akan dipelihara oleh Allah SWT, dan dapat diturunkan kepada anak cucu dengan memperoleh keberkahan dan kesucian serta perlindungan dari Allah yang Maha Kuasa.
Sedangkan harta yang tidak dikeluarkan zakat, tidak akan mendapat perlindungan dari Allah, sebab harta itu akan lenyap dari kepemilikan melalui bencana yang beraneka ragam. Harta tidak akan terpakai untuk pekerjaan yang memberikan keuntungan bagi pemiliknya di “akhirat” kelak.
Zakat merupakan manifestasi dari kegotongroyongan antara orang kaya dengan fakir miskin. Pemberdayaan zakat merupakan perlindungan bagi masyarakat dari bencana kemasyarakatan, yaitu kemiskinan, kelemahan baik fisik maupun mental.
Lembaga “zakat” merupakan sarana distribusi kekayaan di dalam ajaran Islam yang merupakan kewajiban kolektif perekonomian umat Islam. Zakat merupakan komitmen seorang Muslim dalam bidang sosial-ekonomi yang tidak terhindarkan untuk memenuhi kebutuhan pokok bagi semua orang, tanpa harus meletakkan beban pada kas negara semata, sebagaimana yang dilaksanakan dalam system sosialisme dan negara kesejahteraan modern.
Pembahasan Al Quran tentang zakat sebagai doktrin sosial-ekonomi Islam sering dikaitkan secara bersamaan dengan “riba”, seperti dalam Surah Al Baqarah ayat 275 yang menyatakan bahwa Allah menghalakan jual beli dan mengaharamkan riba, setelah pada ayat sebelumnya menyatakan keutamaan membelanjakan harta di jalan yang benar.
Kemudian pada ayat berikutnya, yakni Surah Al Baqarah ayat 276 dengan tegas Allah menyatakan bahwa: “Allah menghapuskan (berkah) riba dan menyuburkan (berkah) sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran lagi berbuat dosa.”
Dalam ayat tersebut Al Quran dengan jelas mempertentangkan riba dan shadaqah, dan kemudian dalam ayat berikutnya secara lebih tegas muncul konsep zakat sebagi solusi alternatif, yakni: Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal soleh, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka, dan tidak ada ketakutan yang akan menimpa mereka, dan mereka tidak akan berduka cita.
Faktor yang menghubungkan antara “zakat” dengan “riba” adalah pengertian kunci di sekitar berkah dalam konotasi kontradiktif, yakni “zakat” sangat terkait dengan sistem penyediaan dana dan system pemanfaatan dana dalam rangka melaksanakan kebijaksanaan pemerataan untuk mencapai keadilan sosial, sedangkan riba hanya dilandasi prinsip materialisme dan hedonisme sehingga menjadi salah satu faktor utama timbulnya konsentrasi kekayaan pada satu orang atau kelompok.
Sesuai dengan prinsip Syariah Islam yang tidak mempersulit (adam al-haraj) dan keadilan (al-?adalah) yang mencakup keadilan sosial, maka doktrin zakat harus dipahami sebagai satu kesatuan system yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka tercapainya pemerataan keadilan (distribution of justice) seperti yang diungkapkan Al Quran, Surah Al Hasyr ayat 7, yakni agar harta tidak beredar di kalangan orang-orang kaya saja.
Menurut beberapa ulama dan ahli sejarah, zakat adalah suatu system jaminan sosial yang pertama kali ada di dunia, yang selalu berhadapan dengan system riba. Hal ini berlangsung secara efektif & efisien, karena zakat langsung dikelola oleh pemerintah yang alim dan adil. Namun, kemudian terjadi pemisahan wilayah kekuasaan internal Islam anatar penguasa dan ulama, maka lembaga “zakat” menjadi tidak seefektif sebelumnya.
Sebagai institusi keagamaan, lembaga “zakat” kemudian dipegang oleh ulama saja, sehingga fungsi sebagai jaminan sosial menjadi tidak kentara, dan lama kelamaan berubah menjadi semacam aktivitas bantuan sementara (temporary action) yang hanya dipungut dalam waktu bersamaan dengan pelaksanaan zakat fitrah. Akibatnya, pendayagunaan zakat hanya mengambil bentuk bantuan konsumtif yang hanya bersifat peringanan beban sesaat (temporary relief), yakni diberikan kepada fakir-miskin, anak yatim-piatu, hadiah tahunan untuk guru agama atau da^i. Sehingga, saat ini, perlu rasanya mendiskusikan kembali doktrin zakat sebagai sub-sistem Ekonomi Islam dalam rangka mempertegas substansi zakat yang sangat terpaut dengan hajat hidup dunia akhirat.
Berdasarkan uraian singkat di atas, bahwa kewajiban zakat di dalam Al Quran seringkali dikaitkan dengan perintah sholat dan larangan riba, maka dapat kita simpulkan bahwa zakat dan sholat adalah dua ibadah utama yang saling berkaitan satu dengan lainnya. Sholat adalah ibadah utama hubungan dengan Allah, sedangkan zakat adalah ibadah utama dalam hubungan sesama manusia tanpa lepas dari dimensi ketuhanan. Dan kaitan kewajiban zakat dengan larangan riba adalah zakat merupakan alat distribusi harta kekayaan antara si kaya dan si miskin, sedangkan riba adalah instrumen utama yang melahirkan konsentrasi kekayaan di sekelompok orang.
Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, Maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah pemberi rezki yang sebaik-baiknya. (QS 34: 39)
Zakat termasuk salah satu rukun Islam yang wajib secara syar’i untuk dilaksanakan oleh setiap orang Islam. Begitu pentingnya zakat sampai-sampai Abu Bakar As-Shidiq yang terkenal lemah lembut itu ketika menjadi Khalifah dalam menghadapi para pembangkang yang tidak mau membayar zakat pernah mengeluarkan pernyataan bahwa beliau akan memerangi orang yang memisahkan antara shalat dengan zakat. Fenomena yang terjadi saat ini banyak orang shalat tetapi tidak membayar zakat. Oleh karena itu secara umum umat Islam tidak bisa merasakan barakah dari tuntunan zakat itu sendiri. Padahal orang mukmin yang benar itu adalah yang menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat (QS 8: 3-4).
Banyak orang tertipu oleh kehidupan dunia sehingga berlebihan dalam mencintai harta. Mereka tamak dan rakus dalam mencari harta. Tidak kenal aturan main, semua serba diserampang. Tidak kenal teman dan saudara semua ditendang. Tidak peduli halal haram semua yang menghadang diterjang. Sementara itu ketika diseru untuk mengeluarkan hartanya di jalan Allah, kikirnya bukan alang kepalang. Jauh berbeda keadaannya dari orang-orang beriman. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa hidup di dunia ini sifatnya hanya sementara, sedang kehidupan akheratlah yang bersifat kekal. Tujuan hidup mereka adalah untuk mendapatkan kebahagiaan yang kekal. Sehingga mereka siap mengeluarkan zakat dari harta yang dicintainya untuk mendapatkan kebahagiaan yang kekal di negeri akherat.

Zakat dalam arti yang lebih luas shadaqah itu sangat penting untuk mendidik kita mengecilkan dunia dan membesarkan akherat. Dengan menyadari akan besarnya nilai akherat, orang akan  menjauhi sifat kikir, karena takut akan kehilangan kebahagiaan akherat. Dia akan berusaha memerangi kekikiran jiwanya dengan bershadaqah. Ketulusan hati dan kesabarannya dalam bersedekah akan membimbing dirinya untuk menjadi orang yang dermawan. Orang seperti inilah yang dicintai oleh penduduk bumi dan langit. Sementara itu ketakutannya akan siksa api neraka yang kekal akan mendorong dirinya untuk bersungguh-sungguh dalam berbuat taat kepada Allah, antara lain dengan menghindarkan diri dari tamak dan rakus. Kegigihan dan kesungguhannya dalam bertaat kepada Allah akan membimbing dirinya menjadi orang yang bertakwa. Orang seperti inilah yang dikatakan oleh Allah swt sebagai orang yang paling mulia di sisinya.
Dalam skala keluarga, kebiasaan untuk mengeluarkan sedekah akan menjadi tarbiyah bagi anak istri. Mereka terbiasa akan pemandangan indah memberikan bantuan kepada orang lain di sekitar mereka. Rasulullah saw bersabda: “Al yadul’ulya khairumminalyadissufla.” (Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah.) Maksudnya orang yang memberi itu lebih baik dari pada orang yang diberi. Di tengah keluarga orang-orang akan tumbuh berkembang anak-anak yang memiliki sifat dermawan.
Tidak hanya berhenti sampai disitu kebiasaan untuk mendahulukan kepentingan ukhrawi daripada duniawi dengan bersedekah akan berimbas pada perubahan orientasi kehidupan keluarga dari duniawi ke ukhrawi. Di dalam keluarga yang berorientasi ukhrawi inilah dimungkinkan tumbuh dan berkembang anak istri yang tangguh dalam keimanan mereka kepada Allah dan hari akhir. Orang-orang seperti inilah yang akan selamat dalam mengarungi kehidupan dunia yang menipu dan menyesatkan. Kesamaan orientasi hidup seluruh anggota keluarga berdampak positif pula terhadap tumbuhnya rasa kebersamaan. Kebersamaan inilah yang akan menjadi modal utama bagi keluarga untuk mengarungi hidup yang serba sulit ini. Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul.
Di sisi lain zakat sangat bermanfaat untuk membantu menguatkan orang-orang yang lemah termasuk di dalamnya fakir, miskin, budak, dan orang yang berhutang. Bahkan para muallafpun diharapkan dapat dikuatkan keislaman mereka dengan pemberian zakat. Secara nasional kalau jumlah orang Islam di Indonesia ini ada 200 juta dan yang berpenghasilan rata-rata 10.000 rupiah per hari ada 100 juta orang. Maka kalau mereka sadar mengeluarkan zakat 2,5% dari penghasilannya saja, setiap hari akan terkumpul zakat sebesar 25 milyar rupiah. Dapat kita bayangkan betapa besar manfaatnya bila tuntunan zakat ini bila benar-benar diamalkan orang Islam. Dapat dipastikan dalam waktu yang relatif singkat umat Islam akan maju dengan pesat.
Dengan zakat sebanyak itu sebagian dapat dimanfaatkan untuk menunjang langkah-langkah sabilillah. Untuk membeli pesawat ringan demi menunjang dakwah pada suku terasing. Untuk mendirikan stasiun televisi yang Islami. Untuk membangun sistem pendidikan, ekonomi, dan pertahanan nasional yang lebih berwibawa di mata dunia. Alangkah indahnya bila semua umat Islam yang telah mampu menjaga shalatnya itu menyempurnakan shalat  mereka dengan mengeluarkan zakat. Hanya orang-orang seperti inilah yang yang akan menikmati keindahan hidup di dunia dan akherat. (diambil dari Solopos Ramadhan 1427H dengan modifikasi)
Al Ustadz Drs. Ahmad Sukina

Ilmu Tafsir

Pandangan Ulma Tafsir terhadap suri tauladan Rasulullah saw

Sesungguhnya telah ada bagi kamu pada Rasulullah suri teladan yang baik..” [QS al-Ahzab [33]: 21]. Ayat ini, menunjukkan bahwa kepribadiaan beliau secara totalitas merupakan teladan. Cendekiawan Mesir terkemuka al-‘Aqqâd menjelaskan bahwa ada empat tipe manusia, yaitu Pemikir, Pekerja, Seniman, dan Yang larut beribadah. Jarang ditemukan sosok yang berkumpul dalam dirinya–dan dalam tingkat yang tinggi–dua dari keempat tipe tersebut. Dan mustahil keempatnya berkumpul pada diri seseorang. Namun yang mempelajari pribadi Muhammad Saw akan menemukan bahwa keempatnya bergabung dalam peringkat tertinggi pada diri beliau. Inilah yang menjadikan beliau dapat diteladani oleh siapa pun.

Pakar hukum, al-Qurthuby, mengemukakan bahwa dalam soal keagamaan, beliau wajib diteladani selama tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa ia adalah anjuran. Sedang dalam persoalan keduniaan, Rasul Saw sendiri telah menyerahkan sepenuhnya kepada para pakar di bidang masing-masing.
Bagi umat Islam, Nabi Muhammad Saw merupakan sosok yang ideal dan panutan.
Bersikap dan berperilaku seperti beliau menjadi cita-cita tertinggi setiap umat Muslim. Semua karena akhlak beliau yang mulia.

Suatu ketika, saat Nabi Muhammad Saw dan para sahabat berkumpul di masjid, datanglah seorang laki-laki dari pedesaan. Tiba-tiba ia berdiri dan kemudian buang air kecil di dalam masjid. Mengetahui perbuatan laki-laki itu, para sahabat berteriak, “Di sana, di sana! Jangan kencing di sini!” Tapi, Nabi justru melarang para sahabat berbuat kasar pada laki-laki itu. Beliau mengatakan, “Jangan kalian ganggu, ia sedang buang air kecil.”

Setelah laki-laki itu usai membuang hajat, Nabi memanggilnya. Kemudian beliau berkata dengan santun, “Ketahuilah, masjid itu tidak patut untuk dipakai sebagai tempat kencing dan kotoran yang lain, karena masjid adalah tempat untuk mengingat Allah, tempat shalat, dan tempat membaca al-Qur’an.”

Kepada para sahabatnya, beliau berkata, “Sesungguhnya kalian diutus untuk membawa kemudahan dan kalian tidak diutus untuk membawa kesulitan. Siram air kencing lelaki itu dengan seember air.” Mengetahui sikap Nabi yang santun itu, laki-laki itu kemudian berdoa, “Ya Allah, rahmati aku dan rahmati pula Muhammad, dan jangan rahmati orang lain selain kami.” Mendengarnya, Nabi mengatakan, “Kamu telah menyempitkan rahmat yang luas.”

Begitulah kebesaran dan kelapangan hati beliau yang tergambar dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim

Bagaimana Meneladani Nabi Muhammad Saw?
Langkah pertama adalah dengan terlebih dahulu memantapkan hati kita untuk yakin bahwa Nabi Muhammad Saw adalah benar-benar utusan Allah swt. Beliaulah rahmat bagi seluruh alam semesta yang apabila kita mengikuti semua ajarannya, kita akan selamat di dunia maupun di akhirat nanti.

Janganlah kita menjadi seperti orang-orang kafir Quraisy yang buta hatinya, menolak Nabi Muhammad Saw sebagai utusan Allah swt, padahal bukti-bukti kerasulan Nabi Muhammad Saw tampak jelas di hadapannya.

Dalam buku Muhammad, Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, Martin Lings mengisahkan, pada masa awal Nabi Muhammad Saw diutus, orang-orang Quraisy mengirim utusan ke Yatsrib untuk bertemu rabi Yahudi. Utusan tersebut diperintahkan untuk menanyakan tentang Muhammad. Kemudian rabi Yahudi memberikan tiga pertanyaan untuk diberikan kepada Nabi Muhammad Saw. Jika bisa menjelaskan tiga pertanyaan tersebut, maka Nabi Muhammad Saw benar-benar utusah Allah swt.

Mendapat tiga pertanyaan itu, Nabi Muhammad Saw mengatakan kepada para pemimpin Quraisy, “Esok akan kujelaskan kepada kalian.” Nabi lupa mengucap “insya Allah”.

Ketika keesokan harinya mereka datang kembali, Nabi Muhammad Saw tak bisa memberi jawaban karena beliau belum menerima wahyu untuk pertanyaan-pertanyaan itu. Selama limabelas malam, tak satu pun wahyu turun. Nabi sangat sedih. Lalu Jibrîl membawakan sebuah wahyu yang mengingatkan Nabi yang sedih karena apa yang dikatakan kaumnya dan memberinya jawaban atas tiga pertanyaan tersebut.

Peristiwa itu memberi arti yang sangat besar bagi kaum Muslimin dan Quraisy yang berada dalam keraguan. Sekarang mereka menjadi yakin bahwa Nabi tidak ikut campur soal wahyu dan tak kuasa mengatur kapan turunnya wahyu itu. Pikir mereka, tak masuk akal bagi Nabi untuk menunda wahyu [jika benar beliau yang membuatnya], padahal banyak hal yang dipertaruhkannya. Namun demikian, bagi kaum kafir Quraisy yang bebal, tetap saja peristiwa tersebut tak mengubah pandangan mereka sedikit pun.

Setelah yakin akan kerasulan Nabi Muhammad Saw, kita juga harus yakin bahwa semua perilaku dan sikap Nabi Muhammad Saw tak mustahil kita teladani. Mengapa begitu? Ya, karena Nabi Muhammad Saw adalah manusia seperti kita juga. Dalam al-Qur’an, setidaknya ada dua ayat yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad Saw adalah seorang manusia.

Dalam surah Fushshilat, Allah swt berfirman yang artinya: “Katakanlah: Bahwasanya aku adalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku: Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, maka bersungguh-sungguhlah menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya dan kecelakaan yang besar bagi orang-orang yang mempersekutukan” [QS Fushshilat [41]: 6].

Sedangkan dalam QS al-Kahf Allah swt berfirman: “Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, maka barang siapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan dalam beribadah kepada Tuhannya sesuatu pun’” [QS al-Kahf [18]: 110].

Kata basyar dalam kedua ayat di atas digunakan untuk menyebut manusia dengan sifat lahiriahnya. Dalam kedua ayat tersebut, Nabi Muhammad Saw diperintahkan untuk mengatakan bahwa beliau juga seorang manusia yang sama seperti manusia lain di seluruh dunia.

Munasabah
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, kata Akhlak diartikan sebagai Budi Pekerti atau kelakuan. Kata akhlak walaupun terambil dari bahasa arab ( yang biasa berartikan tabiat, perangai, kebiasaan, bahkan agama ), namun kata seperti itu tidak ditemukan hanyalah bentuk tunggal kata tersebut, yaitu : Khuluq yang tercantum dalam Al Qur’an ayat 4 surat Al Qalam :
وإنك لعلى خلق غظيم
“Sesungguhnya engkau ( Muhammad ) berada di atas budi pekerti yang agung”. ( Q.S Al Qalam : 4 ).
Kata Akhlak banyak ditemukan dalam hadits-hadits Nabi SAW, dan yang paling populer adalah :
إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق ( رواه مالك ).
Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.
Akhlak merupakan perbuatan yang lahir dari kemauan dan pemikiran, dan mempunyai tugas yang jelas dan dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah : Jalan menuju kebahagiaan manusia, baik sebagai individu maupun masyarakat.
Keluarga Muhammad SAW telah menanamkan ajaran-ajaran yang membimbing kita menuju kebahagiaan yang diimpikan semua orang. Bahkan lebih dari itu, kita dapat mengambil faedah dari Akhlak yang telah diajarkan Rasulullah SAW dan keluarganya untuk berhias diri dengan ajaran Rasul SAW, serta membentuk keperibadian kita pada sosoknya yang paling baik, paling cemerlang dan suci.
Al-Mufadhdhal bin Umar meriwayatkan dari Al-Shadiq yang mengatakan : “Hendaklah kamu sekalian memiliki akhlak mulia, karena sesungguhnya Allah SWT mencintainya, dan hendaklah kalian menjauhkan diri dari perangai buruk karena Allah SWT membencinya.