Just another WordPress.com weblog

pendidikan dan kemiskinan

PENDIDIKAN DAN KEMISKINAN
Ada sebuah teka-teki sederhana namun menarik di kemukakan antara kemiskinan dan kebodohan,mana yang menjadi sebab pertama timbulnya akibat antara keduanya ? Bila kebodohan menjadi sebab,kita bisa katakan kemiskinanlah yang akan menjadi akibat; jika kemiskinan yang menjadi sebab,kebodohan akan menjelma sebagai akibat. Teka-teki ini bukan tanpa nalar,dan bukan pula sebuah usaha menyederhanakan persoalan.Memang,ada benarnya premis bahwa kemiskinan tidak selamanya mengakibakan kebodohan,namun faktanya di negeri ini hal itu terjadi. Banyak orang miskin yang mengalami kebodohan atau mengalami kebodohan bahkan secara sistematis.Karena itu,menjadi penting bagi kita untuk memahami bahwa kemiskinan bisa mengakibatkan kebodohan,dan kebodohan jelas identik dengan kemiskinan.

TIGA RIALITAS.
Untuk memutus rantai sebab akibat diatas,ada satu unsur kunci yaitu pendidikan.Karena pendidikan adalah sarana menghapus kebodohan sekaligus kemiskinan. Namun ironisnya, pendidikan dinegeri ini selalu terbentur oleh tiga realitas. Pertama,Kepedulian pemerintah yang bisa dikatakan rendah terhadap pendidikan yang harus kalah dari urusan yang lebih strategis: Politik. Bahkan,pendidikan dijadikan jargon politik untuk menuju kekuasaan agar bisa menarik simpati di mata rakyat. Jika melihat negara lain,ada kecemasan yang sangat mencolok dengan kondisi sumber daya manusia ( SDM) ini.Misalnya,Amerika serikat.Menteri Perkotaan di era Bill Clinton,Henry Cisneros,pernah mengemukakan bahwa dia khawatir tentang masa depan Amerika Serikat dengan banyaknya penduduk keturunan Hispanik dan kulit hitam yang buta huruf dan tidak produktif.
Dalam dimensi lain,Marshal,seorang peneliti tenaga kerja Amerika Serikat, mengemukakan bahwa suatu bangsa tidak mungkin memiliki tenaga kerja bertaraf internasional bila seperempat dari pelajarnya gagal dalam menyelesaikan pendidikan menengah.Kecemasan yang sederhan,namun penuh makna,karena masyarakat Hispanik cuma satu diantara banyak etnis di Amerika Serikat. Dan di negeri ini,kita bisa melihat adanya pengabaian sistematis terhadap kondisi pendidikan,bahkan ada kecenderungan untuk meng-anaktirikannya,dan harus kalah dari dimensi yang lain. Kedua,penjajahan terselubung.
Di era globalisasi dan kapitalisme ini,ada sebuah penjajahan terselubung yang dilakukan negara-negara maju dari segi kapital dan politik yang telah mengoptasi berbagai dimensi kehidupan di negara-negara berkembang. Umumnya,penjajahan ini tentuk tidak terlepas dari unsur ekonomi. Dengan hutang negara yang semakin meningkat,badan atau organisasi donor pun mengintervensi secara langsung maupun tidak terhadap kebijakan ekonomi suatu bangsa. Akibatnya,terjadilah privatisasi di segala bidang.Bahkan,pendidikan pun tidak luput dari usaha privatisasi ini.
Dari sini pendidikan semakin mahal yang tentu tidak bisa di jangkau oleh rakyat. Akhirnya,rakyat tidak bisa lagi mengenyam pendidikan tinggi dan itu berakibat menurunnya kualitas sumber daya manusia di negeri ini. Jadi,tidak heran jika tenaga kerja kita banyak yang berada di sektor informal akibat kualitas sumber daya manusia yang rendah, dan ini salah satunya karena biaya pendidikan yang memang mahal. Apa lagi ditengah iklim investasi global yang menuntut pemerintah memberikan kerangka hukum yang bisa melindungi pemodal dan juga buruh murah. Buruh murah ini merupakan hasil dari adanya privatisasi(otonomi kampus), yang membuat pendidikan tidak lagi bisa dijangkau rakyat. Akhirnya,terbentuklah link up sistem pendidikan,dimana pendidikan hanya mampu menyediakan tenaga kuli dengan kemampuan minim. Realitas ketiga adalah kondisi masyarakat sendiri yang memang tidak bisa mengadaptasikan dirinya dengan lingkungan yang ada.Tentu hal ini tidak terlepas dari kondisi bangsa yang tengah dilanda krisis multidimensi sehingga harapan rakyat akan kehidupannya menjadi rendah. Bisa dikatakan,telah terjadi deprivasi relatif ( istilah Karl Marx yg di populerkan Ted R.Gurr ) dalam diri masyarakat. Hal ini akan berdampak pada kekurangannya respek terhadap dunia pendidikan,karena mereka lebih mementingkan urusan perut daripada sekolah.
Akibatnya,kebodohan akan menghantui,dan kemiskinan pun akan mengiringi. Jadi,kemiskinan menjadi sebuah reproduksi sosial,diman dari kemiskinan akan melahirkan generasi yang tidak terdidik akibat kurangnya pendidikan,sehingga kemudian menjadi bodoh dan kemiskinan pun kembali menjerat.(*)

DAMPAK KEMISKINAN BAGI PENDIDIKAN
BAGI bangsa yang ingin maju, pendidikan merupakan sebuah kebutuhan. Sama dengan kebutuhan perumahan, sandang, dan pangan. Bahkan, ada bangsa atau yang terkecil adalah keluarga, pendidikan merupakan kebutuhan utama. Artinya, mereka mau mengurangi kualitas perumahan, pakaian, bahkan makanan, demi melaksanakan pendidikan anak-anaknya. SEHARUSNYA negara juga demikian. Apabila suatu negara ingin cepat maju dan berhasil dalam pembangunan, prioritas pembangunan negara itu adalah pendidikan. Jika perlu, sektor-sektor yang tidak penting ditunda dulu dan dana dipusatkan pada pembangunan pendidikan.
NEGERI ini telah lebih dari 20 tahun melaksanakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 6 Tahun dan telah 10 tahun melaksanakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Maksud dan tujuan pelaksanaan wajib belajar adalah memberikan pelayanan kepada anak bangsa untuk memasuki sekolah dengan biaya murah dan terjangkau oleh kemampuan masyarakat banyak. Apabila perlu, pendidikan dasar enam tahun seharusnya dapat diberikan pelayanan secara gratis karena dalam pendidikan dasar enam tahun atau sekolah dasar kebutuhan mendasar bagi warga negara mulai diberikan. Di sekolah dasar inilah anak bangsa diberikan tiga kemampuan dasar, yaitu baca, tulis, dan hitung, serta dasar berbagai pengetahuan lain. Setiap wajib belajar pasti akan dimulai dari jenjang yang terendah, yaitu sekolah dasar.
Seperti diketahui, sebagian besar keadaan sosial ekonomi masyarakat kita tergolong tidak mampu. Dengan kata lain, mereka masih dililit predikat miskin. Mulai Inpres Nomor 10 Tahun 1971 tentang Pembangunan Sekolah Dasar dan inpres- inpres selanjutnya, negeri ini telah berusaha memberikan pendidikan murah untuk anak bangsanya. Puluhan ribu gedung sekolah dasar telah dibangun dan puluhan ribu guru sekolah dasar diangkat agar pemerataan kesempatan belajar untuk jenjang sekolah dasar dapat dilaksanakan dengan murah, dari kota sampai ke desa-desa. Semua warga negara, kaya atau miskin, diberi kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan dasar enam tahun yang biayanya dapat dijangkau golongan miskin.
Kejadian itu dapat dinikmati dalam jangka waktu cukup lama, yaitu sejak dicetuskannya Wajib Belajar Pendidikan Dasar 6 Tahun tahun 1984. Sayang, gema wajib belajar itu makin hari makin melemah karena komitmen bangsa ini pada wajib belajar tidak seperti saat dicanangkan. Jika selama ini kita melihat pendidikan tinggi itu mahal, sekolah menengah juga mahal, SMP juga mahal, sekarang kita saksikan memasuki sekolah dasar pun sudah mahal.
Kini kita melihat, hampir semua jenjang sekolah negeri sudah menjadi lembaga komersialisasi karena yang berbicara tidak lagi persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh kurikuler, tetapi justru besarnya biaya masuk untuk sekolah dasar. Jika untuk masuk sekolah dasar ditentukan oleh umur, maka seorang anak yang sudah berumur tujuh tahun atau lebih wajib diterima sebagai murid sekolah dasar. Ini adalah ketentuan yang tidak boleh ditawar karena ketentuan untuk masuk sekolah dasar adalah berdasarkan umur.
Agaknya pelaksanaan wajib belajar negeri ini adalah slogan yang selalu didengung-dengungkan. Padahal, dalam kenyataannya, pelaksanaan wajib belajar dihalang-halangi, karena untuk masuk sekolah dasar pun kini harus membayar mahal sehingga masyarakat miskin tidak mungkin dapat membayarnya. Maka terjadilah hal yang sebenarnya tidak perlu terjadi apabila semua pihak, terutama guru dan kepala-kepala sekolah, menghayati tujuan wajib belajar itu. Bagi masyarakat dan orangtua yang kaya, anaknya akan dapat bersekolah di sekolah negeri, sedangkan yang miskin akan gagal dan tidak bersekolah.
Untuk masuk ke sekolah swasta, masyarakat miskin tidak mungkin mampu membayarnya. Akibatnya, banyak anak bangsa yang tidak akan memperoleh kesempatan memperoleh pendidikan. Sungguh satu hal yang ironis. Sebab, pada negara yang hampir 60 tahun usianya ini, banyak anak bangsanya akan menjadi buta huruf karena dililit kemiskinan dan negeri ini akan terpuruk karena kualitas sumber daya manusianya tidak mampu bersaing dengan negara �negara yang lain.
PENULIS sengaja memfokuskan tulisan ini pada kesempatan untuk memperoleh pendidikan dasar enam tahun karena bagi warga negara sekurang-kurangnya harus memiliki kemampuan setingkat sekolah dasar, dengan harapan akan memperoleh pendidikan lanjutan. Dengan memiliki dan dibekali kemampuan dasar itu, seorang warga negara akan memiliki harga diri, dapat menambah wawasan melalui kemampuan baca, sehingga ia menjadi warga negara yang tidak picik, mampu menerima pembaruan, dan meningkatkan kemampuannya.
Apabila praktik-praktik pungutan yang diadakan sekolah- sekolah dibiarkan dan tidak ditertibkan, maka akan bertambah banyaklah deretan anak- anak yang tidak bersekolah karena tidak mampu. Dan hanya anak-anak orang kaya saja yang akan memperoleh pendidikan dari tingkat terbawah sampai ke tingkat yang tinggi. Akibat dari itu semua, negeri ini akan dihuni golongan kaya dan terdidik yang akan membentuk kelas tersendiri dalam masyarakat.
Di lain pihak akan terdapat keluarga miskin dan tidak terdidik yang merupakan golongan terbesar di negeri ini. Jika itu terjadi, alangkah rusaknya struktur masyarakat di negeri ini, yang berakibat terjadinya kesenjangan sosial yang tidak kita inginkan. Anehnya, kejadian-kejadian itu justru terjadi di era otonomi daerah, yang seharusnya ada perubahan menuju kebaikan dalam pelaksanaan proses pendidikan. Diharapkan pelaksanaan pembangunan pendidikan di daerah akan lebih baik karena banyak daerah menyediakan dana pendidikan yang tidak sedikit, yang seharusnya pungutan-pungutan itu tidak perlu terjadi.
Adalah suatu kekeliruan yang telah dibuat bahwa wewenang pendidikan yang begitu luas diberikan kepada kabupaten dan kota. Padahal, di daerah-daerah belum tersedia tenaga-tenaga pendidikan yang memenuhi syarat untuk melaksanakan pendidikan di daerahnya. Banyak pejabat yang menangani masalah pendidikan tidak tahu benar akan tugasnya. Lebih-lebih fungsi pengawasan yang menjadi syarat utama dalam proses pendidikan tidak berfungsi. Akibatnya, banyak kepala sekolah yang cenderung mengambil keputusan sendiri- sendiri dengan melanggar ketentuan yang ada, antara lain melaksanakan pungutan untuk masuk sekolah.
MENURUT pengamatan penulis, alasan diadakannya pungutan yang memberatkan itu antara lain untuk kesejahteraan guru dan pembangunan lokal tambahan. Kedua alasan itu adalah alasan klasik yang sudah lama terjadi. Akan tetapi, pungutan yang dilakukan akhir-akhir ini dinilai sudah tidak wajar karena jumlahnya begitu besar dan memberatkan, terutama bagi yang miskin.
Untuk mengatasi semua itu:
Pertama, janganlah kemiskinan dijadikan penyebab terhambatnya anak bangsa untuk memperoleh pendidikan.
Kedua, guru atau profesi guru adalah profesi khusus. Profesi guru tidak sama dengan pegawai negeri lain. Tugasnya terikat pada waktu dan tempat. Karena itu, penggajian pada guru harus berbeda dari pegawai negeri lainnya, agar mereka dapat bekerja dengan tenang dan tidak perlu memikirkan untuk pungutan-pungutan yang tidak sah.
Ketiga, apabila penghasilan guru sudah dapat memenuhi kebutuhan pokoknya, diharapkan berbagai pungutan tidak terjadi. Jika melanggar berbagai ketentuan itu, mereka harus dikenai sanksi.
Keempat, kepada pengelola pendidikan dan komite sekolah, harus selalu ada koordinasi dengan sekolah agar ketentuan- ketentuan kurikuler, terutama dalam penerimaan murid baru, dapat berjalan menurut ketentuan yang ada.

Sumber : http://www.kompas.comDjauzak Ahmad Mantan Direktur Pendidikan Dasar; Ketua Majelis Pendidikan Riau
MEMBANGUN PENDIDIKAN MENGATASI KEMISKINAN
Hampir tidak ada yang membantah bahwa pendidikan adalah pionir dalam pembangunan masa depan suatu bangsa.
Jika dunia pendidikan suatu bangsa sudah jeblok, maka kehancuran bangsa tersebut tinggal menunggu waktu. Sebab, pendidikan menyangkut pembangunan karakter dan sekaligus mempertahankan jati diri manusia suatu bangsa. Karena itu, setiap bangsa yang ingin maju, maka pembangunan dunia pendidikan selalu menjadi prioritas utama.
Kisah Jepang, ketika luluh lantak akibat meledaknya bom di Nagasaki dan Hirosima adalah contoh nyatanya. Ketika itu, Jepang secara fisik telah hancur. Tetapi tak berselang beberapa waktu setelah itu, Jepang bangkit dan kini telah berdiri kokoh sebagai salah satu negara maju. Dalam konteks inilah, salah satu kunci utama keberhasilan Jepang adalah pembangunan dunia pendidikan, yang pada gilirannya membangun kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) ditetapkan sebagai prioritas.
Bagaimana dengan Indonesia? Hampir tak ada yang membantah bahwa kualitas pendidikan di Indonesia saat sekarang ini belumlah terlalu bagus, alias jeblok. Bahkan, kalau sedikit lebih ekstrim, kita dapat menyebut kualitas pendidikan kita anjlok, rendah dan memprihatinkan. Keberadaan atau posisi kita jauh di bawah negara-negara lain. Hal itu terlihat dari angka Human Development Indeks (HDI) yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga internasional, yang menunjukkan bahwa posisi kualitas sumber daya manusia Indonesia sangatlah rendah.
Kemudian, pada saat yang sama tingkat kemiskinan di negeri ini sungguh fantastis. Sangat besar dan mengkhawatirkan. Kita semua paham bahwa kemiskinan kini merupakan simbol yang tentunya sangat memalukan. Besarnya angka kemiskinan di Indonesia saat ini setara dengan kondisi 15 tahun yang lalu. Berdasarkan data (BPS), jumlah penduduk miskin pada tahun 2004 36,1 juta orang atau 16,6 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Tingkat kemiskinan dan pengangguran di Indonesia masih paling tinggi di antara negara-negara ASEAN. Demikian pula dalam indeks pembangunan manusia HDI, Indonesia masih menempati peringkat 111 dari 175 negara di dunia. Posisi ini jauh di bawah negara tetangga Malaysia (76) dan Filipina (98).
Beberapa waktu yang lalu, Bank Dunia juga mengeluarkan data terbaru perihal kemiskinan kita. Banyak pihak terkejut dengan pernyataan ini. Tak dapat kita bayangkan, sesuai data Bank Dunia, lebih dari 110 juta jiwa penduduk Indonesia tergolong miskin atau setara dengan 53,4 persen dari total penduduk. Suatu jumlah yang amat fantastis. Hampir separoh penduduk Indonesia. Hal ini tak pernah kita duga sebelumnya.
Dalam ukuran yang lebih mikro lagi, jumlah ketidaklulusan siswa SLTP dan SMU tahun 2006 ini, tergolong tinggi. Bahkan di beberapa sekolah ada yang tingkat kelulusannya nol persen. Suatu realita yang sangat memalukan. Padahal, standar kelulusan yang ditetapkan Depdiknas tidak terbilang tinggi.
Persoalannya, bagaimanakah masa depan bangsa ini? Atau bagaimana kualitas SDM kita? Harus diakui bahwa persoalan kualitas sumber daya manusia (SDM) memang berkaitan erat dengan mutu pendidikan. Sementara mutu pendidikan sendiri masih dipengaruhi oleh banyak hal dan sangat kompleks. Misalnya, bagaimana kualitas dan penyebaran guru, ketersediaan sarana dan prasarana, sistem pendidikan, dan lain-lain. Hal ini sering kita sebut dengan istilah faktor utama.
Salah satu hal yang menjadi sangat penting untuk mengatasi hal tersebut di atas, adalah dengan menumbuhkan political will pemerintahan sekarang ini untuk lebih memperhatikan sektor pendidikan. Bagaimana pemerintah misalnya mau menempatkan persoalan pendidikan sebagai salah satu prioritas dalam pengambilan kebijakannya. Pembangunan pendidikan adalah modal utama dalam membangun suatu bangsa. Sebab, pendidikan terkait dengan kualitas SDM. Maka, jika bangsa ini ingin maju, maka pembangunan dunia pendidikan adalah syarat mutlak yang harus dilakukan. (*)
======================

Tinggalkan komentar